Minggu, 16 Oktober 2011

SEPANCI SARDEN PENUH MAKNA

Suatu ketika suamiku meminta aku untuk memasak makanan kaleng, sebut saja sarden. Udara seakan berhembus sejuk itu terasa lembut membelai kulitku. Padahal sebetulnya hawanya cukup panas di bulan Ramadhan saat itu.

Suamiku sebenarnya anti makanan seperti itu. Sudah bertahun-tahun kami tak mengkonsumsinya. Entah mengapa dia memintaku untuk memasaknya pada hari itu. Aku ingin menolak karena merasa sedikit aneh dengan permintaannya. Ada perasaan tak wajar yang hinggap dalam kebingungan di kudukku. Meski demikian, entah apa itu, aku menikmatinya. Aku ingin serasa tak ingin berpisah dengan pengalaman seperti ini. Pengalaman dimana suamiku benar-benar membutuhkanku. Dan… aku mengiyakannya.

Serta merta aku ambil paket sayur sop yang aku beli di warung dekat rumah kami yang masih bercampur dengan orangtuanya, tepatnya sepulangku dari minimarket tempat aku membeli sekaleng sarden itu. Kupotong sedang para wortel, kembang kol, buncis, tomat, dan bawang bombay. Aku gerus merica dan bawang putih. Menumisnya sejenak diatas wajan dan bara api, lalu menuangkan sekaleng penuh sarden yang aku buka dengan cara sederhana menggunakan pisau dan ulegan. Sentuhan terakhirku adalah menambahkan sedikit gula merah agar kuah mengental dan semakin terasa legit.

Sambil menunggu matangnya masakanku, aku tertawa kecil mengingat kata-kata suamiku tadi siang. Dia mengatakan hal yang jarang diungkapkannya padaku. “Aku ingin makan sarden nanti ketika berbuka, tapi aku tidak suka sarden pasaran.“, katanya. Kataku, “ Tumben ingin makan sarden, biasanya anti. Tapi yang tidak pasaran itu seperti apa, pa?”. Sahutnya, “Yang tidak amis pokoknya. Kamu campur apa gitu, biar gak enek di lidahku. Pokoknya aku hanya mau makan sarden yang tidak amis. Titik.”

Aku senang jika suamiku jujur mengenai apa yang diinginkannya. Ketika aku memasak dengan penuh cinta, menurutku cintanya padaku semakin bertambah dengan penampakan gesture mulutnya yang tak berhenti mengunyah meskipun matanya tetap tak berpaling dari berita politik kesukaannya di salah satu stasiun televisi swasta. Dan benar, beberapa saat kemudian dia beringsut ke arah alat penanak nasi untuk menambah satu piring nasi lagi. Aku tersenyum melihatnya. Dia tak ubahnya seperti bocah laki-laki yang kelaparan.

Dia tak pernah bilang suka, enak, apalagi cinta, atau kata-kata semacamnya yang ingin didengar seorang perempuan. Selalu serius dengan apa yang disebutnya sebagai main job. “Ma, aku susah-susah begini demi keluarga, kamu dan anak-anak. udah ah, badanku meriang ini, aku tidur dulu.” begitu terus jawabnya jika aku tagih waktu yang berkualitas dengan keluarga. Anak-anak merindukan seorang ayah dan aku merindukan seorang suami yang … perhatian.

Suamiku tak pernah menunjukkan secara jujur mengenai apa yang kusebut sebagai perasaan cinta padaku. aku selalu terlihat bodoh disamping dia yang begitu cerdas menyuarakan pikirannya di media massa dan ketika maju memberikan orasi dalam suatu pertemuan. Saat itu bagiku dia adalah sosok pemuda yang bersemangat atas perubahan. Bintang di panggung perubahan yang siap menghentakkan hati siapa saja yang melemah. Pemuda gigih yang tak pantang menyerah atas nasib dan semua tetek bengeknya. Saat itu aku tak mengenal dia sebagai seorang suami yang kekanakan lagi. Jujur, aku bangga ketika dia ada di panggung itu. Dan berulangkali aku ungkapkan padanya, dia berkata dingin sambil selalu berusaha mengindahkan mataku yang memandang dalam padanya, “ Bukankah dibalik lelaki hebat ada perempuan hebat?” entah itu benar atau tidak, yang jelas setiap dia mengatakan itu, aku hanya tersipu malu dan menggengam erat tangannya. Jangan tanya mengapa.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hampir setiap malam aku terisak diatas sajadahku. Menengadahkan tangan dan meminta agar Tuhan kabulkan semua cita-citanya, agar aku dan keluarga dapat tenang.. bahagia.. hati dan pikiran kami memang hanya untuk laki-laki yang aku sebut suami itu. Laki-laki tempatku berinvestasi sekaligus orang yang senantiasa membuatku kecewa dengan banyaknya pikiran, waktu dan tenaga untuk semua yang disebutnya sebagai perjuangan menuju kekuasaan ini. bagaimanapun aku sudah terlanjur sayang padanya. dan aku senang dia menyatakan keinginannya yang jujur seperti makan sarden hasil masakanku. Sepanci sarden yang penuh makna akan selalu aku rindukan, karena keinginan dan kejujuran adalah barang mahal bagi kami, bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar pada tulisan saya, ya! boleh kritik boleh saran. just be honest.
terimakasih.