Rabu, 18 Mei 2011


Bicara yang lain saja, jangan soal cinta..
Ah, rumahtangga. Sudah 3 tahun aku melaluinya. Belum apa-apa, biduk ini sudah akan terancam karam. Ternyata pasca menikah kami memiliki banyak perbedaan pikiran dan hal-hal prinsipal. Aku pikir dengan masa pacaran hampir 3 tahun, kami saling mengerti satu sama lain. Ternyata tidak demikian.
Suamiku adalah seorang lulusan sarjana bidang pemerintahan sebuah perguruan tinggi swasta. Lingkungan kampus adalah tempat dimana kami memulainya, pertama kali bertemu, berkenalan dan memutuskan untuk bersama. Awal pacaran adalah hal yang sangat menyenangkan. Meski putus nyambung mewarnai hari-hari pacaran kami, itu tak pernah bertahan lama. Paling banyak hanya 1-2 hari saja. Setelahnya balik nyambung lagi dan aku berpikir bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain. Ya, dia suamiku selalu tahu cara menundukkan hati dan perasaanku, membangkitkan perasaan tak mau sendiriku, mempertebal rasa kasihan dan sangkaanku atas kesendiriannya nanti. Aku merasa bertanggungjawab atas perasaannya. Setelah itu kemana-mana bersama lagi, tak henti-hentinya bercakap tentang kami dan masa depan. Aih, masa depan yang mana pula. Look at us now.. I feel no progress in our marriage.
Ya, entah mengapa kami sering terlibat dalam caci maki dan kemarahan. Sebenarnya aku menginginkan pasangan yang dapat menjadikan nyata mimpi-mimpiku. Menenangkan kegelisahan hatiku dan bertanggungjawab lahir batin atasku. Membawaku dalam kebahagiaan dunia akhirat dan kunci jawabannya adalah bukan dengan kekerasan fisik dan psikis. Kupikir suamiku dan manusia lainnya sama juga pikirannya denganku. Aku tahu kami sebenarnya saling mencintai tapi dengan cara yang berbeda. Sedikit menyakitkan, tapi itulah kenyataan.
Aku pernah membaca bahwa seorang yang merasa hampa adalah orang yang kehilangan keyakinan (agama) dan harga dirinya. Ya, mungkin itu yang aku rasakan beberapa waktu lalu. aku melayani mengabdi mencintai suamiku teramat sangat, sehingga aku sendiri yang merasa sakit ketika feedback yang aku harapkan tidak muncul darinya. Perlu diketahui, secara materi kami memang belum settle. Aku adalah pekerja lepas sebuah lembaga pelatihan di kampus kami, dan suamiku adalah seorang politisi yang sedang berjuang untuk dapatkan posisi di negeri ini. Intinya tiap hari belum selalu ada uang untuk makan. Ya, aku memakluminya dan aku berusaha dengan keras untuk memahaminya. Aku tahu suamiku adalah pemikir, pemilik ide-ide besar yang mendasar tentang perubahan, seorang visioner idealis yang mampu melihat jauh kedepan tentang masa depan negara ini. Dan untuk melakukannya, dia berjuang dengan caranya sendiri, yakni berusaha berperan dalam sistem pembuatan kebijakan. Dia bercerita bahwa untuk mengubah negara yang hampir bobrok dari semua lini ini, dia harus masuk dalam core nya dan itu bukan hal mudah. Berangkat dari kemauan kerasnya tersebut, aku tahu bahwa akan banyak yang harus dikorbankan, secara materi, tenaga dan termasuk perasaanku.
Mungkin aku terlalu bermimpi. Padahal ini kenyataan yang harus dihadapi. Tapi setidaknya aku tak ingin sendiri, melainkan ada suamiku yang menguatkanku. Aku ingin dia selalu ada saat aku butuh. Ternyata tidak. Kepentingan lobi-lobi politik hampir tiap hari dilakoninya. Berangkat siang, pulang tengah malam, hampir pagi atau bahkan berhari-hari tidak pulang. Katanya dia bertemu dan memenuhi undangan stakeholder di bidang legislasi yang harapannya kelak akan memberi kami materi dan diharap bukan cuma janji. Sebetulnya suamiku sempat memiliki pekerjaan tetap sebagai kepala promosi di salah satu perusahaan rokok nasional yang membawahi 5 kabupaten di Jawa Timur. Tapi hatinya berkata lain dan dia memutuskan resign agar dapat mengikuti pemilihan legislatif tahun 2009 lalu, meski pada akhirnya dia kalah suara. Sekalipun begitu, sejak itu dia tetap bersikukuh terhadap keinginannya untuk masuk dalam dunia politik. Awalnya aku tidak setuju dengan bidang yang dipilihnya, karena proses dan hasil tidak berimbang, lama, dan aku tak merasa tak sanggup. Tapi dia selalu berhasil merayuku dengan mengatakan bahwa politik adalah investasi masa depan dan akupun luluh. I trust to him.
Setelah itu aku merasa kosong. Ada perasaan bahwa aku harus siap kehilangan segalanya demi suamiku. Bahkan hubungan dengan keluargaku sempat memburuk karena ketidakpercayadirianku dan ketiadaan biaya. Aku sebagai ibu sering merasa tidak mampu dalam hal pengasuhan anak-anak kami. Sering aku merasa tak enak badan karena terlalu memikirkan dia yang jarang di rumah. Sudah makankah dia, sakit maag nya kambuh tidak, barang bawaannya ada yang ketinggalan tidak, kok hari ini ga ada sms atau telpon dari, even.. prasangka yang paling menyeramkan…. Apakah dia tidak menginginkanku? Akankah dia menemukan perempuan lain yang diinginkannya di luar sana selainku? Aku kadang berpikir bahwa dia sebenarnya tidak mencintaiku. Aku berpikir suamiku berharap akan mendapatkan perempuan lain yang sesuai dengan kriterianya. Perempuan baru yang lebih mengenal dirinya dan berhasil secara materi. Ya, soal materi ini, aku memang sering ajukan proposal padanya agar aku dapat bekerja kasar saja, apa saja aku mau, agar lebih cepat dapatkan uang. Tapi apa daya, acc ga pernah keluar dari bibir bapak yang satu itu. Jadi sebenarnya aku amat sangat bingung dengan dirinya. Apa yang dia mau dariku? Aku merasa dia tidak berkata jujur ketika kuberanikan diri untuk tanyakan hal itu. Aku merasa belum pernah mengenal dan mengena di hatinya. Hampir seperti… cinta bertepuk sebelah tangan.
Ya, tapi itu dulu. Sekarangpun jika dipikir, aku rasa hubungan kami belum membaik juga. Hatiku belum berasa tenang dan nyaman. Bagiku masih banyak halangan yang merintangi jalan kami. Ya, halangan yang tak mungkin aku ceritakan disini karena menyangkut beberapa pihak. But, bagaimanapun pihak-pihak tersebut adalah saudara sebadan sesama Muslim. Jadi lebih baik tak usah memperpanjang urusan, kan? Jujur saja, sekarang ini aku menyerahkan urusan rumah tanggaku langsung kepada Tuhan YME. Aku membiarkanNya melihat, menilai dan memutuskan akan jadi apa kelanjutan hubungan kami ini kelak. Aku lelah dan sudah ga sanggup memikirkan semuanya sendiri. Jadi, lebih baik begini, ringankan pikiran, letakkan senyum di hati dan berperilaku yang baik, murni tanpa prasangka buruk pada semua orang dan Tuhan sendiri. Merujuk pada QS Al Hujuurat, bukankah manusia yang mahkluk ciptaanNya ini tidak boleh dahului hukumNya?
Aku sekarang ini hanya berusaha memberikan yang terbaik yang aku bisa untuk suamiku, anak-anak dan keluarga kami berdua, terutama untuk suamiku, meski aku merasa aku tidak sempurna untuknya. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna? Hidupku kini adalah untuk melayani. Bukankah sikap Tuhan seperti itu, Dia orang tua yang baik. Menciptakan anakNya untuk surga keabadian di akherat, mengawasi kehidupan sang anak di dunia dan memberikan hukuman neraka dunia akherat jika sang anak mulai nakal. Tuhan melayani umatNya dengan sempurna. Memberikan semua yang kita butuhkan di Bumi ini, all free, even tubuh kita ini dan alat-alat didalamnya, yang mungkin sering kita salahgunakan kegunaannya. astagfirullah..
Kini aku sedang penjajakan untuk coba temukan fasilitas yang diberikan Tuhan kepada umatNya, yang cocok denganku. Mungkin ini yang cocok ya, aku coba menulis apa yang jadi ganjalan dalam hatiku. Aku memang tak pandai bersilat lidah, namun aku memiliki hati dan tangan untuk ungkapkan perasaanku melalui tulisan. Aku hanya aku, aku harus terima kenyataan bahwa keadaan tidak akan berubah jika kita tidak ingin berubah. Ya, memang harus disadari betul-betul bahwa secara hati kami tidak akan pernah bisa bertemu. Dan untuk mempertahankan pernikahan ini secara agama dan administratif, aku harus mau mengalah sementara waktu sampai vonis Tuhan sesungguhnya, nanti, entah kapan. Aku tahu Tuhan masih mengawasi kami dan kebodohan kami. Aku hanya minta pada Tuhan untuk kuatkan hatiku. Jadi, kini ketika menyadari bahwa hatiku mulai terasa dijajah lagi oleh suamiku, aku tak mau terlalu memikirkannya dan bibirku harus kupaksa berterus terang padanya, “mas sayang, aku takut jatuh dan hancur lagi, jadi tolong bicara yang lain saja, jangan soal cinta ya……”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar pada tulisan saya, ya! boleh kritik boleh saran. just be honest.
terimakasih.